Hi semua.. Seneng banget ya sekarang ini makin gampang buat belanja apa aja secara online apalagi di jaman pandemi kayak gini yang harus membatasi banget keluar rumah. Berbekal dari liat instagram story salah satu teman yang habis terima paket dari segari, aku jadi ikut-ikutan cari tahu tentang segari. Waktu udah intip aplikasinya waaw... ternyata cukup lengkap yaaa dan yang paling penting harganya itu loh banyak yang lebih murah dan ada potongan harga juga. Apalagi ditambah sama free ongkir akhirnya yang tadinya mau keluar rumah buat groceries shopping langsung kuputuskan batal dan belanja lewat segari ini aja. Jadi segari itu apa sih? Segari adalah situs belanja online bahan segar berkualitas dan infonya startup ini baru berdiri di tahun 2020. Belinya cuma bisa via aplikasi? engga doong.. bisa juga via website biasa misal kamu males download aplikasinya di HP atau udh kepenuhan memorinya :) jadi gampang banget dan user friendly. Pilihan pembayarannya juga beragam dari mulai transfe
Aku masih
duduk terdiam di bawah temaram lampu taman. Masih juga tak bergeming pergi
walau sang bayu malam ini begitu dingin membelai tubuhku. Hari ini terasa
berbeda. Sepertinya memori lama itu kembali menghiasi pikiranku. Sesuatu yang
sulit kulupakan walau sesaat. Suatu awal yang tak tahu masih akan berlanjut
atau sudah berakhir. Kisahku yang mengagumi sosok penuh sinar kala itu. Saat
malam sedang tergantung butiran gemintang nan indah, dan bermandikan cahaya
bulan. Semua adalah awal indahnya kisah pertemuanku dengannya. Aku pun masih
menulis tentangnya dalam buku harian. Begitu mudah mengalir saat menulis
tentangnya. Namun entah mengapa seakan ada yang tersendat saat pena ini terus
menggores pertengahan lembaranku. Dan pasti akan ada air mata menggenang di
sudut mataku yang seakan menahan tanganku melanjutkannya. Perasaan yang tak
biasa, lantunan rasa ini begitu mendalam. Ada rasa gundah dalam rindu. Rindu
akan sosoknya yang begitu bersinar. Dan jika rasa ini datang maka larilah aku
ke taman ini. Duduk diam dibawah cahaya lampu taman dan berharap dirinya akan
menyapaku kembali di tengah dinginnya malam. Karena membayangkannya pun cukup membuatku tersenyum.
Malam itu,
bulan desember tanggal tujuh belas. Aku sedang menatap nanar ke luar jendela
kamar. Saat itu langit malam yang cukup cerah di tengah bulan musim hujan.
Namun sayang tak selaras dengan keadaan hatiku. Tepat saat itu aku justru
sedang menangis diam-diam. Entah menangis karena apa. Marah, sedih, kesal,
semuanya berkecamuk. Sementara di luar, sepasang orang dewasa yang sangat ku
hormati dan ku sayangi itu saling bicara sambil sedikit berteriak. Aku sedikit
mengerti apa yang mereka bicarakan namun aku tak mau mendengar terlalu jauh.
Karena itu hanya membuatku mual. Aku tahu mereka orang tuaku yang sedang
bertengkar dan mungkin akan berpisah karena ego mereka. Saat itu jiwa anak
kecilku kembali datang, Terlintas pikiranku untuk pergi dari rumah. Hatiku
terus berteriak, memberontak, mengeluh akan semua yang terjadi. Aku terus
tanyakan kenapa? Kenapa ? aku ingin jadi layaknya tuan putri yang hidup dalam
keharmonisan kerajaan. Aku tak ingin selalu seperti ini. Aku sedang kacau
balau, bahkan peri dalam hati pun tak sanggup mencegahku untuk tetap pergi. Waktu
itu umurku sepuluh. Iya, memang bukan anak kecil ataupun orang dewasa. Namun
tempat langgananku jika aku suntuk di rumah, hanya di sebuah petak tanah tak
jauh dari rumahku. Taman bermain dengan 1 ayunan dan 1 jungkat-jangkit dengan satu
kursi taman yang biasanya sering kududuki saat aku menangis karena tidak
dibelikan mainan ibuku. Sesungguhnya, aku sedikit merasa bersalah pada kursi
taman itu. Tapi memang aku hanya mendudukinya saat aku benar-benar ingin merasa
sendiri dan sedang berlinang air mata. Sama seperti hari itu, aku tetap asyik
menangis diatas kursi taman itu. Hingga tak kusadari, aku makin tenggelam dalam
tangisanku. Tak sadar sebuah tangan hangat menepuk pundakku. Aku kaget. Tapi
aku bersyukur dia bukan ibu atau ayahku yang menangkapku sedang menangis lalu
menyuruhku untuk pulang.
Tapi siapa dia? Aku sama sekali tak tahu namanya.
Aku tersenyum simpul padanya. Tak pernah aku lakukan ini pada seorang tak
dikenal. Tapi aku seakan luluh oleh senyumannya yang saat itu seperti berkata
agar aku menghentikan tangisanku. Wajahnya seperti tak asing. Anak lelaki itu
sebaya denganku. Dan akhirnya memoriku kembali. Dia seorang yang pernah kulihat
dari atas balkon rumahku. Di saat pikiranku kacau kusut. Aku ingat senyumannya
yang membuatku tersenyum di tengah kesedihanku. Waktu itu, saat langit malam
yang cerah, dan leluasa melihat bintang-bintang. Itulah pertemuan pertamaku
dengannya. Menjadi spesial karena ada bintang jatuh malam itu. Dan layaknya
anak kecil di usiaku yang masih empat, aku pun memohon agar dipertemukan dengannya
lagi saat langit malam cerah dan berbintang. Permohonanku dikabulkan. Lelaki
kecil yang dulu kulihat, ada di depan mataku sekarang. Ia sedikit lebih tinggi
untuk ukuran anak umur sepuluh tahun. Ia menatapku dalam-dalam, lalu sedikit
membungkuk punggungnya yang tegap. Ia berikan sapu tangannya untuk menghapus
air mataku. Sungguh pertemuan tak di duga. Tapi sepertinya aku memang butuhkan
sosok yang membuatku tenang saat itu. Sungguh senyumannya sangat membuatku
tenang. Kami hanya diam. Aku menunggunya bicara. Tapi ia tak lakukan. Kembali
hanya senyum yang ia berikan. Dan itu cukup membuatku tenang untuk tidak
menangis lagi. Ia menulis sesuatu. Aku terpana. Tatapanku menerawang pada
barisan di kertas itu. Ia seorang tuna wicara. Demi Tuhan aku sangat ingin
mendengar suaranya, tapi sama saja menunggu bubur kembali jadi nasi, tak
mungkin. Lalu aku menjadi berpikir, seseorang sepertinya bagaimana ia ingin
mengungkapkan kekesalannya, kemarahannya, atau kesedihannya? Bahkan mungkin ia
tak akan pernah punya waktu untuk mengeluh. Lalu aku ini apa? Aku ini tidak
pantas mengeluh. Aku punya segalanya. Kesempurnaan dari sang maha pencipta.
Pantasnya aku cukup mengunci bibirku daripada beradu kata dalam keramaian.
Baiknya aku cukup merenung di kamar untuk pikirkan semua masalahku. Dia tak
bicara apa-apa. Namun ia cukup membuat pikiranku menjadi terang. Bahkan aku tak
perlu tahu namanya. Karena aku tahu ia pantas diberi nama bintang. Seseorang
yang pancarkan aura ketenangan untuk diriku. Dia bintang yang sederhana. Dan
aku pun ingin mengaguminya secara sederhana. Resahku mendadak sirna.
Tergantikan oleh anugerah rasa yang dimiliki setiap insan. Aku menyukainya.
Hanya itu. Suara hati yang kudengar walau kacau kusut. Tapi inilah aku yang menyanyangimu.
Terima kasih akan kesadaran di hatiku yang datang karenamu. Namun sesal meraja
karena harus berpisah denganmu.
Bayangmu tetap
bergelimang di benakku. Mungkinkah aku bertemu lagi denganmu? Mungkinkah dapat
kunikmati indahnya rasa yang bersemi saat di dekatmu? Atau aku hanya bisa
menikmati bayangmu ketika langit penuh gemintang? Semua pertanyaan terus
berkecamuk di kepalaku, hati ini terus mengucap kata rindu. Segala prasangka
akan pertemuan dengannya yang telah berakhir atau kembali berulang. Aku
bersembunyi pada waktu, agar tak membiarkan aku berpisah dengannya. Aku terus
bertanya dalam hati. Ingin kembali menangis diam-diam, hingga terdengar sayup-sayup
suara sanubari bernyanyi “dan jika gemintang tiada lagi melagu kisahku yang
mencinta dirimu kan’ slalu abadi.. “
AAD
Inspired by : Gemintang - Andien
Gemintang
Awali indahnya cerita
Melantunkan rasa
Nyanyikan denting nada dan senyuman
Menghadirkan cinta
Resahku menepi
Indahku bersemi
Mengingat utuh bayangmu
Hatiku
Mengucap kata merindukanmu
Laksana nyata manis nuansa
Dan jika gemintang tiada lagi melagu
Kisahku yang mencinta dirimu
Kan’ slalu abadi
Rembulan
Temani indah malam ini
Menyatukan asa
Lukiskan
Dekap hangat yang kau beri
Mengartikan kita
Resahku menepi
Indahku bersemi
Mengingat utuh bayangmu
Hatiku
Mengucap kata merindukanmu
Laksana
Nyata manis nuansa
Dan jika gemintang tiada lagi melagu
Kisahku yang mencinta dirimu
Kan’ slalu abadi
Komentar
Posting Komentar